Oleh : Marlutfi Yoandinas
Akankah puisi hanya sebuah igauan, semacam ceracau,
atau sesuatu yang tiba tanpa disadari?
Sepilihan puisi berjudul Igauan Seismograf karya
Halim Bahriz ini menawarkan suatu ketaksaan (kekaburan) suatu identitas puisi.
Laiknya jalan, puisi ini berada di antara banyak persimpangan. Tidak memilih
salah satunya, bahkan cenderung ingin menerabas menemukan jalan
lain. Jalan yang mungkin ini puisi atau ini semacam puisi.
Pada judul: sebuah cara menceritakan diri sendiri –
aku lirik menarasikan amatan indrawi tentang lajur-lajur kabel PLN dan Telkom;
rangka layang-layang yang nyangkut; angin lewat yang sedikit menggoyangkan
rangka layangan; hujan turun hampir setiap bulan; bocah-bocah berangkat dan
pulang sekolah.
Menarasikan ingatan tentang burung-burung yang tak
lagi bertengger di lajur-lajur kabel; kemarau tahun lalu; rangka layang-layang
yang sudah diabaikan bocah pemiliknya; sudah setahun penuh hanya si aku lirik
yang memperhatikan gerak-gerik rangka layang-layang.
Menarasikan bayangan tentang orang-orang yang tak
menghiraukan rangka layang-layang; apakah rangka layang-layang juga
memperhatikan si aku lirik; tidak adanya perubahan dan pergerakan di lingkungan
sekitar aku lirik; upaya perhatian si aku lirik laiknya cara matahari melihat
urat-urat daun dan rambut manusia.
Kemudian ditutup dengan narasi perasaan kesepian si
aku lirik dan kepeduliannya pada kesepian rangka layang-layang yang nyangkut di
lajur kabel.
Narasi-narasi yang dibangun dalam tulisan dikesankan
begitu sederhana. Pesan ditampilkan secara gamblang tentang kesepian. Antara
judul yang menautkan sebuah cara menceritakan diri sendiri, dan isi yang
menampilkan narasi-narasi sepi, sendiri dalam igauan.
Kembali pada pertanyaan di atas, akankah puisi hanya
sebuah igauan, semacam ceracau, atau sesuatu yang tiba tanpa disadari? Ya.
Bagi saya, puisi Halim Bahriz ini telah melampaui apa
yang ingin dicapai oleh puisi.
Lalu, apa yang sebenarnya ingin dicapai oleh puisi?
Kesederhanaan, sesederhana menuliskan igauan. []
Sebuah pembacaan atas Buku Sepilihan Puisi Halim
Bahriz “Igauan Seismograf”, disampaikan dalam acara APACAPA #2: semacam bedah buku di Gazebo Dinas
Perpusatakaan dan Kearsipan Kabupaten Situbondo
Sabtu, 6 April 2019