Oleh : Imam Sofyan
Dalam setiap pertemuan selalu ada kesan yang akan
dikenang sepanjang zaman. Termasuk pertemuan terakhir saat book review Gadis
Pantai karangan sastrawan besar Pramoedya Anana Toer. Sastrawan yang pernah
dibungkam dan berkali-kali dipenjara dari zaman pra-kemerdekaan, orde lama dan
orde baru. Sastrawan yang tidak hanya berkurung diri di dalam kamar saat masa
kebebasannya. Sastrawan yang menganggap bahwa karya-karya yang lahir dari
tangannya adalah anak-anak rohani yang memiliki nasibnya sendiri, cacat,
hilang, bahkan di kutuk dan di cap haram. Tak terkecuali Gadis Pantai yang
semula trilogi hanya tertinggal satu. Sekali lagi : Pramoedya Ananta Toer.
Di dalam buku Gadis Pantai ini, Pram benar-benar
mengkritik para feodal hingga ke jantungnya. Bendoro, suami Gadis Pantai wanita
berumur 14 tahun rajin beribadah bahkan belajar ilmu hadis tak luput dari
kritikannya. Gadis Pantai yang merupakan anak seorang nelayan yang sehari-hari
mencium bau pantai, harus menikah dengan Bendoro yang sama sekali tak
dikenalinya. Dan di dalam tradisi orang-orang feodal seperti Bendoro, sebarapa
banyak pun Bendoro menikah, selama tidak menikahi seorang putri bangsawan
Bendoro masih berstatus perjaka.
Sesaat setelah menikah Gadis Pantai terkurung dan
gerak-geriknya terbatas tidak seperti berada di kampung nelayan. Selama dua
tahun Gadis Pantai tidak bertemu dengan orang tuanya di kampung halaman. Saat
Gadis Pantai izin untuk pulang ke kampung halamannya pun sikap dari bapak dan
ibunya berubah total. Berbeda saat Gadis Pantai sebelum menikah. Sesekali Gadis
Pantai memanggil bapaknya, tetapi si bapak tidak berani masuk rumah. Hanya
berada di depan pintu. Namun, siapa sangka, setelah melahirkan seorang putri,
Gadis Pantai harus dicerai, diusir dan dipisahkan dari anak yang dikandungnya.
Dan bagi seorang, Pram sastra adalah alat. Alat
perlawanan bagi yang menginjak-nginjak nilai kemanusian. Selain itu, di dalam
buku Gadis Pantai, Pram memberikan pesan bagi si pembaca untuk kembali ke laut
sebagai kekayaan bangsa Indonesia. “laut tetap kaya tak akan berkurang, Cuma
hati dan budi manusia semakin dangkal dan miskin.” (hal. 113).
***
“Mungkin hanya itu yang bisa saya sampaikan
selanjutnya kita bisa diskusi” ucap saya setelah mengulas isi buku.
Setelah itu Ahmad Yusuf salah satu dosen sastra UNARS
memaparkan terkait sastra hingga diskusi lebih luas. Lalu, Marlutfi Yoandinas
menjelaskan tentang karya Pram dari perspektfi Gender.
“Jadi, selain itu Gadis Pantai ini mungkin sudah tidak
relevan lagi dalam konteks saat ini. Karena sudah tidak ada lagi antara Bendoro
dan ‘orang kebanyakan’ seperti Gadis Pantai,” lanjut Marlutfi.
“Sekarang ini, perlawanannya antara kapitalis dengan
‘orang kebanyakan’, bukan lagi dengan feodal itu,” sahut Pak Yusuf.
Saya pun mengamini pendapat dua orang di atas, karena
jika pun masih ada prilaku Bendoro di dalam buku tersebut maka sudah pasti si
Bendoro terkena pasal UU batas minimum pernikahan wanita yaitu 16 tahun. Dan
yang lebih parah lagi si Bendoro akan berhadapan dengan para haters,
karena apa bedanya si Bendoro itu dengan Syekh Puji yang pernah membuat heboh
dunia persilatan.